Majelis Ramadan #15: Rincian Hukum Sengaja Tidak Puasa

PUASA Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim yang telah mukalaf. Jika telah terpenuhi syarat-syarat wajib puasa baginya maka ia wajib melaksanakan puasa.

Kewajiban puasa Ramadhan berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat al-Baqarah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini berisi perintah untuk puasa bagi orang-orang beriman, di mana puasa diwajibkan sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat terdahulu. (Tafsir Jalalain, Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin as-Suyuti, 28)

Puasa Ramadhan adalah bagian dari rukun Islam yang utama, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima pondasi; Syahadat, mendirikan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari)

Para ulama menyebutkan syarat-syarat wajib berpuasa menjadi tiga hal utama; beragama Islam, baligh, berakal , memiliki kemampuan  untuk berpuasa dan tidak ada yang menghalanginya untuk berpuasa. (Al-Iqna’, Muhammad bin Ahmad al-Khatib asy-Syarbini, 1/496)

Kewajiban puasa termasuk perkara asasi yang maklum diketahui oleh kaum muslimin. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama akan kewajiban puasa Ramadhan bagi setiap muslim atau muslimah yang telah baligh, berakal, dan ia mengetahui masuknya bulan Ramadhan serta mampu untuk berpuasa. (Al-Iqna’ fi Masail al-Ijma’, Abil Hasan bin al-Qathan, 1/226)

Jika kita jalan-jalan di ruang publik di bulan Ramadhan seperti ini, ternyata masih banyak tempat-tempat makan yang buka, meski sebagian tempat memberikan tirai ‘setengah badan’ sebagai penutup.

Di jalan-jalan umum juga masih banyak orang yang tidak berpuasa. Dengan santainya mereka menenteng botol minuman kemasan dan mengunyah makanan ringan. Seakan hadirnya bulan Ramadhan sama sekali tak membawa arti penting baginya. Sama saja seperti hari-hari biasa.

Juga pemuda dan remaja dengan rokok yang terselip di mulut, duduk-duduk santai di pinggir jalan menghembuskan asap dengan riang gembira sembari tertawa bercanda dengan teman-teman nongkrong.

Jika kita bertanya kepada mereka, kenapa tidak berpuasa sedangkan agama mereka adalah Islam, seperti yang tertulis di kartu tanda penduduk (KTP). Maka dengan mudah dijawab, “Laper, haus. Males puasa.” Dan ragam alasan lainnya.

Lantas apa sebenarnya hukum sengaja tidak puasa Ramadhan?

Apakah bisa digeneralisir bahwa setiap muslim mukalaf yang meninggalkan kewajiban puasa dengan sengaja maka ia telah jatuh pada kekafiran karena menentang kewajiban syariat yang telah ditetapkan oleh al-Quran, Sunnah Nabi, kesepakatan para ulama?

Para ulama merinci hukum terkait mereka yang tidak puasa Ramadhan menjadi beberapa keadaan.

Pertama: Boleh tidak puasa Ramadhan

Dalam beberapa keadaan syariat membolehkan untuk tidak berpuasa bagi mereka yang memiliki udzur (alasan) yang dibenarkan oleh syariat.

Seperti termaktub dalam firman Allah Ta’ala:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٍ طَعَامُ مِسۡكِين

Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat ini menyebutkan beberapa golongan manusia yang dibolehkan untuk tidak puasa karena alasan yang dibenarkan. Yaitu orang-orang yang sedang sakit, musafir yang sedang dalam perjalanan dan mereka yang berat untuk mengerjakan puasa seperti orang tua renta yang telah lanjut usia, dan ibu hamil atau menyusui. (Tafsir Jalalain, Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin as-Suyuti, 28)

Karena mereka memiliki udzur untuk tidak puasa Ramadhan, maka konsekuensinya mereka wajib mengganti puasa yang ditinggalkan di luar bulan Ramadhan atau membayar fidyah bagi orang tua lanjut usia dan ibu hamil.

Perlu pembahasan khusus untuk merinci masing-masing konsekuensi yang wajib dilakukan atas udzur tidak puasa Ramadhan pada diri mereka. Namun secara umum mereka adalah orang-orang yang dibolehkan untuk tidak puasa Ramadhan disebabkan udzur yang diterima oleh syariat.

Kedua: Haram meninggalkan puasa Ramadhan

Haram hukumnya meninggalkan puasa Ramadhan tanpa ada udzur syar’i. Jika seseorang sengaja tidak puasa Ramadhan tanpa disertai udzur syar’i, maka ia berdosa.

Orang yang meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur syar’i terbagi lagi menjadi dua; mereka yang meninggalkannya karena meyakini tidak wajibnya puasa Ramadhan dan yang meninggalkan dengan alasan peremehan namun tetap meyakini akan kewajibannya.

Bagi golongan pertama, mereka yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja yang disertai dengan mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, maka ia jatuh pada kekafiran. Kecuali belum sampai kepadanya penjelasan akan hukum kewajiban puasa Ramadhan atau ketidakpahamannya akan kewajiban tersebut. (Al-Iqna’, Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini, 1/495; Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 28/8)

Adapun bagi mereka yang meninggalkan kewajiban puasa Ramadhan dengan sengaja karena malas dan tetap meyakini akan kewajiban hukumnya, maka mereka dihukumi sebagai orang yang fasik dan berdosa.

Dalam akidah Ahlu Sunnah, pelaku dosa besar tidak dikafirkan kecuali ia telah menghalalkan dosa tersebut. Dan ia tetap dihukumi sebagai orang yang beriman. Maka meninggalkan puasa Ramadhan adalah termasuk dosa besar. (lihat: Ma’arij al-Qabul, Ahmad al-Hakami, 2/348)

Konsekuensi Tidak Puasa Ramadhan Tanpa Udzur

Para Ulama telah menjelaskan konsekuensi bagi mereka yang tidak puasa Ramadhan tanpa adanya udzur syar’i.

Menurut jumhur ulama, mereka yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja, maka wajib bagi mereka untuk mengqadha’ puasa Ramadhan yang ditinggalkan dan membayar kafarah. Adapun argumentasi mereka adalah mengkiyaskannya dengan kasus menjima’ istri di siang bulan Ramadhan.

Ini adalah pendapat Ibnu Mubarak, Sufyan ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i. Sedangkan menurut Imam Ahmad ia tidak terkena kafarah. (Shahih Fiqhu as-Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, 2/128) Maka selain mengqadha’ puasa, mereka diwajibkan untuk membayar kafarah, yaitu; memerdekakan seorang budak muslimah, atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Wallahu a‘lam(Fajar Jaganegara/dakwah.id)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here