Wajah Ibukota Kaltara Belum Cuci Muka

Oleh: Fajar Mentari, S.Pd

(Ketua Lembaga Nasional Pemantau dan Pemberdayaan Aset Negara Provinsi Kalimantan Utara)

ISU kemajuan pembangunan ibukota Kalimantan Utara (Kaltara) terus dilakukan. Segala upaya dan hasilnya pun menjadi sorotan di tengah Pilkada bercampur Pandemi.

Saya tergelitik sekaligus tertarik untuk menumpahkan perspektif saya pribadi menanggapi pernyataan pak Irianto setelah membaca berita Humas yang berjudul “Perubahan Wajah Ibukota Cukup Terasa” dan isi beritanya adalah saat Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke-37, dimana pak Irianto menyebutkan bahwa sudah banyak yang berubah, karena Pemprov terus bekerja, dan berbenah.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa tidak sedikit pembangunan yang sudah direalisasikan beliau. Namun, seiring berjalannya waktu, wajah ibukota Provinsi Kaltara ini belum banyak berubah. Kaltara sebagai provinsi bungsu harusnya membenahi diri dalam hal infrastruktur, khususnya Tanjung Selor yang notabenenya adalah wajah ibukota provinsi.

Saya tidak bilang tidak ada pembangunan sama sekali, tapi penampakannya seperti tidak ada perubahan secara signifikan. Ibukota provinsi miskin perubahan dalam derap pembangunan. Ayo kita sama-sama cuci muka lalu membuka mata lebar-lebar agar lebih terang melihat kenyataan bahwa dari sisi kelayakan wajah ibukota provinsi itu masih nampak jelas buruk rupa, padahal hampir setiap hari jadi lalu lalangnya yang terhormat gubernur kita bapak Irianto Lambrie.

Menurut saya, ciri daerah berkembang adalah apabila antara mobilitas, probabilitas dan infrastruktur itu saling berlomba. Jika kita perhatikan secara seksama, umumnya daerah yang berkembang itu bukan hanya nampak dari sisi infrastruktur mewahnya saja, tetapi juga dari sisi intensitas mobilitas yang tinggi, aktivitas panjang masyarakatnya, suburnya kaum urban yang terundang tanpa diundang.

Paradoks kemacetan yang membedakan antara daerah berkembang dengan daerah maju, kalau daerah berkembang itu salah satunya nampak dari kemacetan lalu lintasnya. Sedangkan kalau daerah maju, solusi kemacetannya itu sudah tuntas. Tapi Kaltara, tidak keduanya. Tidak macet, bukan karena sudah maju, tetapi memang karena sepi, sesepi desa di provinsi-provinsi besar meskipun belum terdepan.

Padahal itu pun sudah sangat terbantu oleh program Nawacita presiden, dimana Kaltara sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia, dan apalagi kebetulan provinsi baru yang masih sangat membutuhkan belaian manja, sehingga tentu memperoleh perlakuan khusus dengan menjadi fokus perhatian pusat dalam hal peningkatan kesejahteraan dan pembangunan. Dalam arti bahwa siapa pun gubernurnya, tidak akan mengurangi tujuan dari program Nawacita itu sendiri. Selain itu, ada Pemkab Bulungan yang teritorialnya berkedudukan sekamar.

Begitu indah Kaltara dikemas di pemberitaan lantaran berdamai dengan penggelontoran dana Humas yang capai hingga Rp 50 miliar lebih, objektivitas informasinya bak kaulah yang terindah, bak kaulah segalanya, selalu terdepan, dan sekali terdepan tetap terdepan.

Tetapi memasuki usia ke-8, Tanjung Selor memiliki wajah yang jauh dari standar ibukota provinsi. Belum banyak perubahan yang terjadi. Ibarat rumah, perubahan itu cuma di halaman depan saja. Di bagian dalam, masih jauh dari kata terdepan. Menurut saya, wajah Kaltara masih sekadar pencitraan.

Dandanan mahal dan mewah, tapi make up luntur. Keberhasilan pembangunan itu tidak harus jadi yang terdepan. Untuk provinsi paling baru, minimal mendekati setara dengan provinsi berkembang lainnya saja sudah cukup, sudah prestasi.

Kaltara sebagai provinsi baru dipandang masih dalam rangka tahap pemekaran, sehingga wajar saja jika kebanyakan masih sulit untuk menganggapnya sebagai prestasi. Anggapan mereka lebih kepada sebatas kewajaran bahwa segala capaian Pemprov adalah dalam rangka pemekaran, jadi sudah hal yang lumrah dan sangat normatif.

Bisa dibayangkan jika dana Humas Rp50 miliar lebih, berarti perbulan sekitar Rp4.2 M, perharinya kurang lebih Rp 140 juta. Patutkah di tengah masyarakat yang berteriak lantaran keterpurukan ekonomi, lalu dana Humas menelan angka terbilang fantastis?

Berbeda dengan provinsi lainnya, khususnya provinsi yang berskala besar, tentu tidak bisa dijadikan referensi pembanding. Menjadi kewajaran jika anggarannya besar, sebab di samping luas georafis yang berbeda jauh, kepadatan jumlah penduduknya juga jauh.

Jangan sampai kebutuhan pemberitaan yang luas itu menjadi alasan untuk mendapatkan perhatian pusat, karena program Nawacita sudah otomatis memberikan perhatiannya kok. Dan jika sasarannya guna memantik investor, answer choices-nya bukan meningkatkan dana Humas yang tidak ramah manfaat.

Kalau konteksnya itu, maka kunci utama yang harus ditingkatkan itu adalah prioritas pembangunan akses darat, agar mempermudah pintu keluar-masuk antar kabupaten/kota ke provinsi, sehingga stimulasi pertumbuhan ekonomi juga laju, karena harusnya ‘gula-gula’ ekonomi itu memang sentralnya ada di ibukota induk tingkat provinsi. Pembangunan infrastruktur yang berkilau akan menjadi magnet rejeki yang datangnya bahkan dari “investor kutub”.

Daripada membangun Kanal Bandara dan Guest House di Tarakan yang sifatnya tidak urgen, akan jauh lebih tepat sasaran jika yang di make up itu wajah ibukota provinsi. Untuk Kanal Bandara, Pemprov sudah menggelontorkan sebanyak Rp 33 miliar sejak beberapa tahun belakangan, dan tahun ini dianggarkan kembali Rp 10 milar.

Saya menilai angka fantastis yang dikeluarkan tersebut tidak berbanding lurus dengan hasil, karena untuk membuat tanggul saja cuma Rp 55 ribu per meternya. Demikian juga pengerjaan SMA 8 Malinau yang seharusnya kayu ulin, tapi sebagiannya bukan ulin. Tidak apa-apa proyek daging asal memang peruntukannya skala prioritas dan lebih punya asas manfaat yang tinggi.

Sementara, proyek Guest House pada 2018 telah menelan anggaran sebesar Rp 23 miliar dan tahun ini kembali dianggarkan sebesar Rp 5,8 miliar. Saya menilai itu bukan kebutuhan urgen yang pro kepentingan rakyat. Selain dapat mematikan bisnis perhotelan, biaya perawatannya juga tidak kecil. Biaya perawatannya mungkin jauh lebih besar ketimbang biaya pelayanan tamu pejabat penting negara yang kunjungannya itu sangat jarang. Itu kan untuk menginap pejabat negara dan presiden, mereka kan tidak setiap hari datang. Kalau pun setiap bulan datang, ada hotel untuk tempat inap layak standar. Belum lagi lokasinya yang tidak strategis, jalannya sempit.

Pun pejabat negara kan punya uang perjalanan dinas, termasuk biaya inap hotel. Secara, pada umumnya orang mencari akses yang strategis dan representatif. Apalagi untuk tempat menginap tamu pejabat negara level menteri hingga presiden, sangat tidak pas untuk mereka diinapkan di situ, itu pun syukur jika mereka mau, apalagi presiden. Kalau tidak, berarti siapa gerangan yang bertanggung jawab untuk menjamin Guest House bukan proyek percuma?

Dikatakan program jangka panjang juga tidak, jadi memang mubazir. Jika kita gunakan rasio berpikir, mending prioritas bangun gedung DPRD Provinsi, lebih jelas manfaatnya dan jelas pula jangka panjang sekalinya, apalagi rumah aspirasi masyarakat.

Sehingga saya menilai lebih baik Pemprov Kaltara mengutamakan pembangunan yang lebih prioritas. Seperti infrastruktur jalan, perbaikan rumah ibadah yang jika anggarannya dialihkan ke situ, maka dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam waktu dekat.

Atau diposkan untuk lanjutan gedung sekolah SMAN 1 Tanjung Selor, proyek mangkrak gedung Sekretariat Provinsi Kaltara, atau gedung untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan lainnya. Daripada gaduh soal pinjam pakai gedung PKK milik Pemkab Bulungan, dan pinjam pakai aset bangunan pemda lainnya.

Untuk Kanal Antarmoda Bandara Juwata Tarakan dan Guest House, saya berharap agar pemerintah melakukan pengkajian ulang soal feasibility study (FS) untuk kelanjutan pembangunannya, sebab anggaran yang dibutuhkan terlalu banyak dan belum berdampak dalam waktu dekat jadi sebaiknya dihentikan. Karena perintah Mendagri dan UU serta keuangan pada saat refocusing agar anggaran tidak bermanfaat ditangguhkan lebih dulu.

Saya berharap kepada Pemprov agar sementara menghentikan proyek tersebut dan menyetop anggarannya sampai beberapa tahun kedepan. Sebab jika proyek tersebut ditunda sampai beberapa tahun kedepan, maka tidak akan mengganggu hal-hal yang lebih prinsip lainnya. Toh itu bukan barang yang bisa basi, bukan poin yang krusial.

Jika pengerjaannya diundur dan tidak dikerjakan kebut-kebutan, belum dimanfaatkan 10 – 15 tahun akan datang, saya yakin itu tidak akan mematikan suatu usaha dan merugikan masyarakat. Masyarakat akan baik-baik saja, semua akan lancar-lancar saja.

Justru jika itu difungsikan saat ini, yang mati adalah perhotelan dan ekonomi jadi tidak berputar. Jika hanya alasan planning jangka panjang, maka mari kita merenung dan berpikir lebih jernih, kita harus realistis bahwa manfaatnya belum efektif dan efisien untuk sekarang ini, bahkan sampai 10 – 15 tahun ke depan.

Jadi pendampingan gubernur yang mobilitasnya sangat tinggi terkesan hanyalah testimoni yang asal-asalan dan taman pencitraan, sehingga membuat kita sebagai rakyat akhirnya berpikir ngapain kewajiban bayar pajak dan lain sebagainya jika uang tersebut hanya digunakan untuk hal-hal yang mubazir, karena tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat secara luas, manfaatnya tak berdampak untuk kantong masyarakat. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here