Oleh : Fajar Mentari, S.Pd (Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Tarakan)
MENJAMURNYA penampakan para oknum-oknum yang mengaku sebagai kaum duafa jenis pengemis yang bergentayangan melancarkan aksi kejahatannya secara door to door ke rumah warga, kerap mengundang perhatian masyarakat.
Menurut kacamata saya, hal ini karena dianggap modus kejahatan berkedok pengemis. Ini adalah penyakit yang penyebarannya tidak boleh dibiarkan bergerak liar. Berhubung ini adalah penyakit yang kurang diketahui oleh banyak orang, sehingga sudah seharusnya untuk diinformasikan dan disebarkan kepada masyarakat luas.
Jadi bukan bicara soal ikhlasnya, tapi ini adalah modus kejahatan yang bersifat menipu. Saya mengemis maaf, berdasarkan banyak temuan di lapangan, para pemburu sedekah atau pengemis ini kebanyakan oknum-oknum asal Madura.Banyak sekali data dan fakta yang bisa kita jumpai di media pemberitaan terkait kasus ini, kita bisa mencarinya di google.
Woow, ternyata mereka sekarang jadi sekelompok orang kaya yang tak pernah puas. Bahkan mereka sengaja menularkan tradisi mengemis ini secara turun menurun keketurunannya. Di sana memang ada kampung yang menganut tradisi mengemis, makanya disebut Kampung Pengemis.
Mereka memang sengaja didatangkan secara berkelompok dari kota ke kota, khusus untuk melakukan aksi mengemis.Perkelompok biasanya berjumlah sedikitnya 10 orang, setiap kelompok menyebar di semua wilayah.
Usai menggarap 1 kota, mereka lalu bergeser ke kota yang lain, dan berganti dengan kelompok baru, dan begitu seterusnya.Coba kita berhitung, dari pintu ke pintu, pengemis hanya butuh waktu “paling lama 2 menit” untuk minta sedekah.
Dalam sehari, mereka operasi bisa 7 sampai 8 jam. Kita ambil angka kecilnya 7 x 60 menit = 420 : 2 menit = 210 rumah artinya yang bisa digarapnya. Anggaplah dalam sehari ia berhasil mengetuk “minimal” 100 pintu dikali Rp.2.000, artinya dalam sehari ia bisa menghasilkan Rp. 200.000 minimalnya. Itu hasil ngemis persatu orang.
Bagaimana jika ada yang nyumbang Rp. 5.000, Rp. 10.000, atau di atasnya?Tak jarang juga mereka berkamuflase dengan menjual sticker mantra tolak bala, mantra pengusir setan, mantra rejeki bermagnet, dan mantra sihir bin aneh lainnya. Atau berupa buku kecil yang mungkin isinya tentang ayat-ayat cinta.
Seringkali dari kita tidak membelinya, namun tetap memberikannya uang iba. Kalaupun dibeli, mereka mendapat untung 100% lebih dari harga modal.Koordinator atau bosnya ini yang memang agak sulit untuk ditangkap, sebab di samping kurangnya pemahaman warga terkait modus kejahatan bertopeng kaum duafa jenis pengemis ini, sehingga warga tidak curiga dan terpikir untuk segera melaporkan, mereka juga memang sudah didoktrin agar setia jangan sampai bocor, jadi mereka bertahan semaksimal mungkin menjaga kerahasiaan siapa sutradaranya.
Tentu akan hancur mata pencaharian mereka yang datang jauh-jauh jika bosnya ditangkap. Kebanyakan rekrutannya adalah orang-orang yang patah pensil, jadi mereka murni hanya berpikir kalau mereka diamankan petugas, mereka bingung dan tak tahu mesti bagaimana, sehingga penting untuk melindungi bosnya yang dianggap akan mengurus tetek bengeknya jika terjadi hal yang mereka tidak inginkan. Jadi kejahatan kelompok ini sangat terorganisir.
Toh, hal itu sudah biasa mereka lakoni. Mereka terlatih dan kaya pengalaman. Apalagi lantaran mereka dimanjakan oleh warga yang tidak paham untuk segera melaporkan, dan bagi mereka jika kebetulan kena naas lalu disanksi, itu perkara sepele dan cuma dianggap angin lewat (kentut) saja karena sudah biasa, jadi efek jera alergi untuk menyentuh mereka.
Mungkin salah satunya disebabkan oleh warga yang memanjakan mereka.Sungguh makmur kehidupan mereka, cuma modal minta-minta tanpa harus banyak mikir dan menguras keringat berair halal. Yang mereka pikir itu cuma jalan mana yang belum dilewati, dan rumah mana yg belum jadi korbannya? Gampang sekali kan!
Budaya ini sungguh sangat merusak, tontonan yang tidak mendidik, suatu sikap yang memiskinkan martabat manusia. Ini budaya yang miskin akal sehat, budaya tidak waras. Mengajarkan cara mudah ditiru untuk memperoleh uang yang banyak, tetapi tidak bermoral.Sehingga tidak ada alasan untuk ditoleransi, karena ini budaya malas mikir, malas ikhtiar, malas kerja terhormat.
Kebiasaan yang menipu akhlak, dan membunuh perilaku yang berkeadaban. Mengapa saya katakan demikian? Terang saja, karena ini penipuan, layaknya parasit yang menggantungkan kelanjutan hidupnya sekeluarga dengan berbekal nebeng di atas pengorbanan orang lain.
Budaya rajin ngemis ini cuma memanfaatkan keringat orang lain.Untuk itu saya ingin mengajak masyarakat agar informasi ini menjadi bahan renungan kita semua, dan mari kita bekerjasama untuk memerangi jenis kejahatan bertopeng pengemis ini.
Jangan diberi uang, segera laporkan dan tahan sampai petugas tiba di Tempat Kejadian Perkara (TKP).Jika ingin bersedekah, ada lembaga resmi yang berbadan hukum, seperti BAZ, LazisMu, LazisNu panti jompo, atau panti asuhan. Kita juga bisa bersedekah ke tetangga atau kenalan yang jelas nyata kita tahu kesusahannya. Tapi, jika sedekahnya uang receh, bisa disumbangkan melalui kotak amal. (**)