Begini Riwayat Singkat Kerajaan Tidung

Kepala Adat Besar Tidung Kalimantan, Amiril Pengiran H. Mochtar Basry Idris (Foto: Mansyur/Kayantara.com)

KAYANTARA.COM, TARAKAN – Pada 17 Agustus 2020 Bank Indonesia dan Menteri Keuangan RI mengukir sejarah bagi budaya daerah Kalimantan Utara (Kaltara) melalui foto seorang anak berbaju adat Tidung yang terpajang dalam uang baru pecahan Rp75 ribu.

Foto baju adat yang dikenakan murid SD Negeri 041 Tarakan bernama Muhammad Izham Attaya ini menjadi buah bibir warganet hingga trending topic di negeri ini.

Bermula dari polemik uang kertas tersebut membuat budaya asli Kaltara dari suku Tidung mulai dikenal warga Indonesia dari Sabang sampai Merauke. 

Menurut riwayat Baju adat Tidung yang terpajang dalam uang tersebut dulunya hanya dikenakan pada saat-saat tertentu saja yaitu waktu pernikahan/perkawinan.

Sejatinya, masyarakat pada mulanya terdiri dari prasuku, kemudian berkembang menjadi masyarakat suku, masyarakat kerajaan hingga menjadi negara nasional. Termasuk kerajaan Tidung di Kaltara.

Lantas seperti apa sejarah berdirinya Kerajaan Tidung di Bumi Pertiwi ini?

Kepala Adat Besar Tidung Kalimantan, Amiril Pengiran H. Mochtar Basry Idris mengatakan kerajaan Tidung berdiri dan secara resmi dikenal dunia yakni pada tahun 1557 silam. Kerajaan Tidung kala itu sudah beragama Islam dengan sistem pemerintahan monarki.

“Asal usul kerajaan Tidung bermula dari Tidung Kuno yang berkududukan di Manjelutung. Kerajaan itu bisa dikenal dengan nama Berayu. Orang Majapahit mengenalnya dengan nama kerasikan. Sedangkan bangsa Cina menyebutnya Kalkan/Kalka. Kerajaan ini hancur disebabkan bencana alam, yang dalam hikayat Suku Bangsa Tidung disebut GASAB,” terangnya kepada Kayantara.com, Rabu (19/8).

Kerajaan Tidung yang pernah tercatat dalam sejarah Tidung berdiri tahun 1076, berdasarkan silsilah (genealogy) yang ada di pesisir timur pulau Tarakan yakni di kawasan Binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung).

Sayangnya kerajaan Tidung yang berdiri di Binalatung persisnya dalam wilayah Kelurahan Pantai Amal Kecamatan Tarakan Timur, peninggalannya telah musnah karena bahan bangunan terbuat dari kayu maka lapuk dimakan usia, serta terbakar.

Banyaknya MUNDU (lanun/perompak/bajak laut) yang beroperasi dipesisir Tarakan ikut serta menghilangkan situs kerajaan Tidung tersebut. Karena Di Binalatung dianggap kurang aman maka kemudian pusat pemerintahan pindah ke daerah Peningki Lama.

“Sejak jaman dahulu Tarakan sudah menjadi wilayah yang strategis, telah terjadi interakasi dagang dari berbagai bangsa yang datang dan berdagang di Tarakan, seperti Portugis, Belanda, Cina, Spanyol, Inggris, dan lain-lain. Mereka inilah yang berusaha menguasai tata niaga perdagangan seperti emas, sarang burung, damar, madu dan batu-batu mulia,” kata Haji Mochtar, sapaan akrabnya.

Akibat dari penguasaan tata niaga yang kurang sehat inilah, terjadi berbagai perlawanan dari Raja-raja Tidung pada saat itu, akibat peperangan yang panjang dan bergantinya Dinasti kepemimpinan, akhirnya kerajaan Tidung melemah, dan sisa-sisa kerajaannya banyak yang dibakar oleh penjajah.

Adapun Raja Pertama Kerajaan Tidung bernama Amiril Rasyid dengan gelar Datoe Radja Laoet Memerintah (1557-1571). Dan raja terakhirnya adalah bernama Datoe Adil Memerintah (1867-1896) yang sekarang menjadi nama stadion sepakbola terbesar di kota Tarakan.

Zaman kejayaan kerajaan Tidung berlansung sampai tahun 1787. Namun di tahun 1916 terjadi krisis suksesi.

“Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas,” urai Kepala Adat Besar Tidung Nasional ini.

Pada jaman Kolonial wilayah Kerajaan Tidung ini disebut Tidung Shelander, yang artinya wilayah Tanah Tidung, kekuasaannya membentang dari Tanjung Mangkaliat hingga ke daerah Sabah, Malaysia Timur.

Kelompok-kelompok suku Tidung pada zaman kerajaan Manjelutung belumlah seperti apa yang terdapat sekarang ini. Sebagaimana diketahui bahwa di kalangan Suku Tidung yang ada di Kaltara sekarang terdapat lima kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu:

–      Dialek bahas Tidung Malinau

–      Dialek bahasa Tidung Sembakung

–      Dialek bahas Tidung Sesayap.

–      Dialek bahas Tidung Kalabakan di Residen Tawau Kota Kinabalu Sabah Malaysia Timur.

–      Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tenggara yang kebanyakan bermukim di daerah air asin.

Dari adanya beberapa dialek bahasa Tidung yang merupakan kelompok komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpinnya masing-masing.

“Dulu kaum suku Tidung yang khususnya bermukim di pulau Tarakan, populer juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dinasty Tengara,” Terang Haji Mochtar.

Kerajaan dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertahta yang diperkirakan tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Tengah. “Tepatnya di Wisma Patra itu tapi sudah hancur namun yang masih tersisa baley rung (Wisma Patra sekarang ini),” ucapnya.

Berikut silsilah raja dari dinasti tengara:

1.    Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571)

2.    Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)

3.    Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650)

4.    Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695)

5.    Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731)

6.    Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)

7.    Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)

8.    Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817)

9.    Amiril Tadjoeddin (1817-1844)

10.  Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867)

11.  Ratoe Intan Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana adalah putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)

12.  Datoe Adil (1896-1916)

Kerajaan Tidung memiliki hubungan dengan beberapa kesultanan yang ada di dalam dan luar negeri. Seperti Kesultanan Sulu, Bulungan, Banjar dan Kesultanan Berau.

Setelah Reformasi Bangsa Tidung berusaha mengembalikan kelembagaan kemasyarakatannya melalui Kelembagaan Adat yang struktur kepengurusannya berjenjang mulai dari tingkat nasional dibawah kepemimpinan Amiril Pengiran H. Mochtar Basry Idris. selaku Kepala Adat Besar Tidung Kalimantan dan membawahi Kepala Adat Besar Tidung Kaltara yang diemban Amiril Pangiran Zakaria Basran, SE., M.Si. dan dibawahnya ada lima kepala adat tingkat kabupaten/kota hingga ke kecamatan.

Di sisi lain kita mengenal juga kelembagaan Adat Dayak Tidung yang berafiliasi dengan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) yang ada di Kalimantan Barat.

Serta pengurus yang berada di provinsi Kaltara dipimpin oleh Amiril Pengiran Abdul Wahab H. Someng, SH. Dan membawahi Kepala Adat tingkat kabupaten/kota, hingga ke kecamatan.

“Cikal bakal berdirinya MADN sebelumnya dikenal dengan nama Dewan Adat Dayak Kalimantan (DADK) yang digagasi Dr. Barnabas Sebilang (Purnawirawan Polri),  AP H. Mochtar Basry Idris (Purnawirawan Polri) dan dr. Wira Negara Tan dan kemudian dideklarasikan di Balikpapan,” pungkas Amiril Pangeran. (sur)

Iklan



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here